Jakarta, 26 Februari 2025 – Ahli Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), M. Fatahillah Akbar, menyoroti dampak luas dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023. Kasus ini menyebabkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun, yang terbagi dalam dua kategori utama:
- Kerugian keuangan negara, akibat markup harga dalam pengadaan minyak.
- Kerugian perekonomian negara, yang berdampak langsung pada masyarakat akibat efek domino dari korupsi ini.
“Kasus ini sebaiknya melibatkan ahli ekonomi untuk menilai dampak perekonomian secara menyeluruh,” ujar Fatahillah kepada Tempo, Rabu (26/2/2025).
Dampak bagi Masyarakat: BBM Tak Sesuai Standar
Salah satu dampak paling nyata dari kasus ini adalah kerusakan kendaraan akibat penggunaan bahan bakar yang tidak sesuai standar. Seharusnya, masyarakat mendapatkan BBM dengan RON 92 (Pertamax), namun justru menerima RON 90 (Pertalite) yang kualitasnya lebih rendah.
Menurut Fatahillah, masyarakat yang merasa dirugikan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi. Gugatan ini dapat dilakukan melalui mekanisme class action dalam jalur perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 99 KUHAP, yang memungkinkan penggabungan gugatan perdata dalam tuntutan pidana.
“Masyarakat bisa berdiskusi dengan Kejaksaan Agung untuk menggugat pihak terkait atas kerugian yang dialami,” tambahnya.
Tersangka dan Modus Korupsi
Kejaksaan Agung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini, yang terdiri dari pejabat Pertamina dan pihak swasta:
Pejabat Pertamina yang Terlibat:
- Riva Siahaan – Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
- Sani Dinar Saifuddin – Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
- Yoki Firnandi – Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
- Agus Purwono – VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
Pihak Swasta yang Terlibat:
- Muhammad Kerry Andrianto Riza – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa
- DW – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim
- GRJ – Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
Menurut penyidik Kejagung, para tersangka dengan sengaja mengurangi produksi minyak kilang domestik, sehingga memaksa Indonesia melakukan impor minyak dalam jumlah besar. Padahal, regulasi mengharuskan pasokan minyak mentah dalam negeri diprioritaskan sebelum melakukan impor.
“Para tersangka merekayasa hasil rapat optimasi hilir (OH) dengan menurunkan readiness kilang. Akibatnya, pasokan minyak mentah dari kontraktor dalam negeri ditolak, sehingga memicu peningkatan impor minyak,” jelas Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Senin (24/2/2025).
Selain itu, Kejagung juga menemukan bukti bahwa BBM RON 90 (Pertalite) dibeli dan di-blending di storage atau depo menjadi RON 92 (Pertamax), meskipun praktik ini dilarang. Riva Siahaan diduga sebagai aktor utama dalam praktik ini, yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan besar dengan mengorbankan kualitas BBM yang dijual ke masyarakat.
Dugaan Pelanggaran Hukum
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, dan Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jika terbukti bersalah, mereka dapat menghadapi hukuman berat atas peran mereka dalam skandal korupsi ini.
Kasus ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat. Oleh karena itu, Kejagung mendorong masyarakat untuk aktif dalam proses hukum, termasuk mengajukan tuntutan ganti rugi melalui class action jika mengalami kerugian akibat penggunaan BBM yang tidak sesuai standar.
Read More
- Jokowi Bantah Keras Isu Ijazah Palsu: “Yang Menuduh, Silakan Buktikan!”
- Prabowo dan Erdoğan Saksikan Penandatanganan MoU Strategis Indonesia–Turkiye di Ankara
- Bursa Asia Bergejolak Akibat Tarif Trump, China Jadi Penahan Pelemahan
- Selamat Jalan Titiek Puspa, Sang Bunga Abadi Dunia Musik Indonesia
- Titiek Puspa Meninggal Dunia
- Dampak Tarif Impor AS terhadap Ekonomi Indonesia